Cerpen remaja
Kertas biru di botol kaca
Musim hujan tiba lagi. Setiap hari mataku akan melihat bulir-bulir air langit yang turun berkejaran. Air-air yang menciptakan genangan hampir di seluruh jalanan desa. Air-air yang membawaku pada kenangan tiga tahun silam.
Aku, Dila. Aku gadis kelas XII SMA yang selalu tenggelam bersama masa lampau. Entahlah, meski aku telah duduk di putih abu, hatiku masih tertinggal di putih biru. Bukan tertinggal pada tempatnya, namun pada kisah yang sempat ada di dalamnya.
Terlintas dalam ingatan tentang kisah lima tahun silam. Ketika aku diberi tugas bertema cinta pertama. Mataku melotot, aku mengingat sesuatu. Mengingat kisah yang mencuat di permukaan dan lama-lama merasuk juga di hati. Ya. Yang disebut cinta. Barangkali cinta monyet. Kisah yang sangat mainstream namun sangat suka kuingat. Kisah jatuh hati sekaligus patah hati pertamaku. Kukira semua itu hanya sekelebat cerita yang singgah lantas berlalu. Nyatanya aku masih memendamnya hingga kini.
Aku masih ingat bagaimana awal perkenalanku dengannya. Perkenalan yang menciptakan rasa yang kini terpisah jarak demi menuntut ilmu. Mungkin dia sudah lupa, namun aku masih mengingatnya dengan jelas. Sampai saat ini, aku masih bisa melihatnya. Melihat mata indahnya, menikmati senyumnya meski senyum itu tak diperuntukkan padaku. Setiap kali bertemu dengannya, aku selalu rindu padanya. Pada dia saat masih menganggapku berharga, dahulu. Tahun pertama kelas VII SMP. Entah apa yang menarik darinya, yang jelas dia mampu mencuri semua perhatianku. Setahun lamanya semua itu terjadi, dan hanya pesan-pesan di twitter saja yang jadi perantara. Tapi sekarang tidak lagi, aku dan dia seperti tidak mengenal satu sama lain.
Tahun kedua. Masa kelas VIII SMP. Sudah satu tahun kita bertemu, baru tahun ini kita berbicara. Hingga kini aku masih suka tersenyum sendiri mengingat saat kita berbincang di bawah jendela depan kelas. Aku masih ingat senyumnya sore itu. Aku ingat sorakan teman-teman dan gaya malu-malu kita ala pelajar SMP. Terkadang aku merasa rindu berkirim pesan dengannya, aku rindu mendapat perhatiannya. Semua kedekatan sirna di tahun keduaku menyukainya ini. Aku pun bingung dengan apa yang membuatku jauh darinya, padahal jarak kita masih seperti sebelumnya. Semua tak lantas membuat lenyap rasaku. Aku masih suka padanya. Hingga kuberanikan diriku untuk mengirim sebuah pesan.
“Dika, aku pengen ngomong sesuatu. Iya ngomong aja Dil”
“Sebelumnya aku minta maaf. Aku gak maksud ganggu kamu. Aku cuma pengen jujur sama perasaanku. Sejak awal perkenalan kita, sebenarnya aku juga suka sama kamu Dik. Aku suka saat kita selalu kirim kabar. Aku suka kita deket. Jujur sampai sekarang aku masih suka sama kamu, Dik. Aku kangen. Aku ga bisa bohongin diri aku. Semenjak aku suka kamu, ya emang cuma kamu yang aku suka. Makasih buat semuanya Dik. Makasih udah mau baca pesan aku. Maaf kalau aku ganggu kamu”. Sekitar 15 menit aku menunggu balasan darinya,
“Iya gak papa”.
“Sebelumnya aku minta maaf. Aku gak maksud ganggu kamu. Aku cuma pengen jujur sama perasaanku. Sejak awal perkenalan kita, sebenarnya aku juga suka sama kamu Dik. Aku suka saat kita selalu kirim kabar. Aku suka kita deket. Jujur sampai sekarang aku masih suka sama kamu, Dik. Aku kangen. Aku ga bisa bohongin diri aku. Semenjak aku suka kamu, ya emang cuma kamu yang aku suka. Makasih buat semuanya Dik. Makasih udah mau baca pesan aku. Maaf kalau aku ganggu kamu”. Sekitar 15 menit aku menunggu balasan darinya,
“Iya gak papa”.
Hatiku hancur melihat balasan singkatnya. Dia benar-benar tak ingin mengingatku. Namun rasaku masih belum menyerah. Hingga aku menjumpai tahun ketigaku jatuh hati padanya. Kelas IX SMP. Kurasa ini tahun yang paling indah. Entahlah aku bisa menjadi temannya di tahun itu. Aku bisa melihat semua aktivitasnya dengan dekat. Ya, aku sekelas dengannya. Saat itu aku merasa begitu dekat dengan dia. Namun di situ pula hatiku konflik. Aku memang menyukainya, namun aku harus menjaga murninya pertemanan yang terlanjur tercipta. Banyak hal yang kita lalui dalam pertemanan sekelas itu. Mulai dari belajar bersama, tertawa bersama, pulang bersama, dan yang paling indah adalah menikmati hujan di teras kelas. Melihat air yang menciptakan genangan yang dilompati teman-teman ketika melintas. Tetes air hujannya serupa dengan matanya yang indah dan selalu membuatku jatuh cinta.
Kini aku dan dia bukan pelajar SMP lagi, melainkan SMA. Aku sudah tak begitu akrab dengannya karena sudah tidak satu kelas. Jujur saja, aku merindukan semua hal tentangnya, tentang kedekatan kita. Aku rindu dengan kenangan tentang genangan depan teras kelas IX, aku rindu bersamanya, aku rindu senyumnya untukku. Aku rindu tawanya bersamaku. Berharap dia tahu, berharap dia juga merindukanku. Saat ini, kukatakan dengan tegas bahwa “Rasaku Masih Ada”. Rasa ini tertulis indah dikertas biru yang kusimpan di botol kaca. (MU)