• Ming. Mar 26th, 2023

MACCAKI.COM

Olah Raga, Olah Hati, Olah Pikir

DILEMA IDEALISME DAN CINTA

Bysyathir

Sep 6, 2017

DILEMA IDEALISME DAN CINTA
(Mardatillah Umar)
Ini adalah sebuah era dimana tidak ada kesetaraan…
Sebuah era dimana tidak adanya kepusaan dan kepercayaan…
Sebuah era yang penuh penuh dengan diskriminasi…
Era dimana kita dilihat berdasarkan siapa dan seberapa banyak uang kita…
Ini zaman dimana kita sebagai orang miskin semakin terinjak-injak…
Zaman dimana kita lahir di negeri yang harga pasir lebih mahal dibanding harga nyawa.
Kuhembuskan napasku, lega rasanya aku bisa kembali ke tanah airku dan aku bisa menginjakan kaki kembali di bumi pertiwi. setelah tujuh tahun aku tinggal di Belanda untuk menuntut ilmu dan bekerja sebagai staff KBRI. Aku adalah Putri Athaya sasongko. Aku lahir di keluarga yang sangat nasionalis, dulu eyang kakung adalah seorang abdi Negara beliau bekerja sebagai staff istana negara. Eyangku adalah orang yang sangat nasionalis beliau mengajarkanku apa itu nasionalisme dan idealisme. Sedangkan ayahku adalah prajurit TNI yang gugur dalam tugas yaitu ketika meredam kerusuhan di Papua. Ibuku bekerja sebagai aktivis Ham di Jakarta.
“Sayang apa kabar” sapa Eyangku sambil memelukku “alhamdullilah baik Eyang, Eyang apa kabar?” tanyaku pada Eyang “Eyang yang begini-begini saja hanya saja Eyang tambah tua?” jawab Eyang diakhiri dengan tawa yang khas.
 “Ha… ha… Ha… Eyang ada-ada aja, kalo Eyang nggak makin tua aku malah takut, nanti Eyang dikira makan bayi” candaku pada Eyang. “ayo ndok, pulang Eyang putri sama ibumu udah nunggu di rumah”. Sampai di rumah Eyang putri dan Ibuku langsung memelukku.
            “Atha sayang apa kabar eyang uti kangen banget sama kamu” sapa Eyang Uti sambil menciumku. Aku hanya bisa tersenyum. “Mama, aku kangen padamu” sapaku sambil memeluk mamaku.
Makan malam pun tiba aku, makan malam berjalan lancar hanya saja satu pertanyaan dari eyang kakungku yang membahas tentang pernikahan.
“Ndok, kamu kan udah 29 tahun tunggu apalagi kapan kau nikah, apa kau menunggu eyangmu itu tiada dulu?” Tanya eyang padaku. Serasa ceker ayam menyakar tenggorokanku.
             “Aduh eyang aku itu masih muda, masih banyak yang harus aku lakukan” jawabku pada eyang.
“Tapi ingat kau harus punya pendamping yang satu ideologi sama kita, harus seiman juga”
Kata Eyang Uti ku. Aku hanya terdiam membisu terbesit dalam pikiranku, bagaimana kalau kelurgaku tahu aku punya kekasih orang Belanda, yang notabene nggak satu ideologi, nggak seiman ditambah lagi Belanda itu pernah menjajah Indonesia pasti kalau mereka tahu mereka langsung menolak kekasihku terang-terangan. Pasti Eyang Kakung yang paling nggak setuju karena beliau mantan staff istana negara dan mantan pejuang di era Indonesia dijajah Belanda.
Malam kini semakin larut aku masih tidak bisa memejamkan mataku, masih terngiang di pikiranku soal pertanyaanku. Tiba-tiba hp ku berdering kekasihku Jhosep menghubungi ku.
 “Hai, sudah sampai di Indonesia kamu” sapa Jhopsep dalam bahasa Indonesia dia memang mahasiswa jurusan bahasa Indonesia.
“Ah ya aku sudah sampai tadi siang” jawabku pada Jhosep.
 “Syukurlah kalau begitu, bagaimana lamaranku kau terima tidak” .
“Maaf Jhosep aku harus bicara dengan kelurgaku dulu sebelum memutuskan itu” jawabku tanpa aku sadari air mataku mengalir dengan derasnya.
 “Baiklah akan kutunggu jawabanmu” balas Jhosep.
 “Terimakasih Jhosep, cepat istirahat dan cepatlah kau berbaur dengan buku dan penamu”.
Keesokan harinya aku berbicara pada eyang kakung.
 “Pagi eyang” sapaku pada eyang yang sibuk memberi makan ikan di kolam.
 “Pagi ndok, acara hari ini mau ke mana” Tanya balik Eyangku.
 “Ehm, aku masih bingung mungkin hari ini aku hanya duduk manis di rumah” gumamku pada Eyang.
 “Oh ya Eyang mama sama Eyang Uti ke mana?” tambahku pada Eyang “Ibumu lagi ke jawa timur katanya di sana ada orang dibunuh gara-gara menolak tambang pasir terus eyang Uti tadi ke pasar belanja” jawab eyangku yang masih sibuk dengan ikan-ikannya.
“Eyang aku boleh ngomong sesuatu sama eyang eyang, penting”. Kemudian eyang menoleh dan metatap tajam.
 “Apa ndok kamu mau bicara apa sama eyangmu ini?”.
“Tapi Eyang janji dulu sama aku Eyang nggak bakalan marah”.
“Ya tergantung, kamu mau bicara masalah apa”. Dengan hati yang berdebar aku bicara pada Eyangku.
“Ehm, begini eyang, ehm… Aku udah punya kekasih dan itu orang Belanda” ucapku dengan cepat.
“Apa kamu punya kekasih sama orang Belanda, kamu itu gimana si kan eyang udah bilang jangan sama orang Belanda, kamu kan tahu kalau Eyang paling nggak suka sama orang Belanda karena mereka dulu menjajah Indonesia” Jawab eyangku dengan suara yang keras.
“Maaf eyang tapi kan itu dulu sekarang Belanda sudah nggak jajah Indonesia kan eyang” jawabku pada eyang dengan air mata metetes.
“Jujur Atha Eyang kecewa sama, kamu dari kecil udah janji sama eyang akan pernah mengkhinati Negara walaupun kamu pergi di negeri yang pernah jajah Indonesia.”
 “Tapi eyang aku nggak mengkhinati negaraku eyang” Jawabku pada eyang yang diselingi dengan tangisku “tapi kamu tau kan pasti dia itu nggak seideologi sama kita dan pastinya dia nggak seiman sama kita kan, kamu mau jadi pacaran kok sama orang yang pernah ngejajah kita, mau jadi apa kamu, mau dibawa kemana Negara kita kalau kamu nikah sama orang yang pernah menjajah kita” Bentak eyangku padaku.
Aku diam seribu bahasa. Aku putuskan kembali ke kamarku setelah perdebatan panjang dengan eyangku. Kini aku menghubungi Jhosep aku berbicara panjang lebar dan aku putuskan untuk menolak lamaran Jhosep.
Beberapa bulan kemudian aku menyadari ini jalan yang terbaik yang diberiakan Tuhan padaku. Kini aku bekerja seperti ibuku yaitu sebagai aktivis HAM. Saat ini aku sedang mengangani kasus pembunuh seorang aktivis yang dibunuh gara-gara menolak tambang pasir. Ternyata cinta pada seseorang masih kalah dengan rasa nasionalisme, idealisme dan patriotisme.
—Selesai—

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *